Dilema ASEAN Menghadapi Junta Myanmar
Posisi ASEAN dalam merespons krisis Myanmar terus berada di persimpangan sulit. Sejak kudeta militer yang terjadi pada Februari 2021, organisasi kawasan Asia Tenggara ini tak kunjung menemukan formula efektif untuk meredakan kekacauan yang terjadi di dalam negeri Myanmar. Junta militer di bawah pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing merasa diperlakukan tak adil dan ditinggalkan oleh para tetangganya.
Pemerintah junta Myanmar beberapa kali menyatakan kekecewaannya kepada ASEAN karena merasa tidak diakui sebagai otoritas sah di dalam forum-forum resmi. Ketegangan ini memuncak ketika ASEAN kembali tidak mengundang perwakilan politik junta dalam pertemuan menteri luar negeri di Jakarta. Myanmar menyebut tindakan ini sebagai bentuk diskriminasi dan tidak sejalan dengan prinsip non-intervensi yang selama ini dijunjung ASEAN.
Junta Myanmar menganggap bahwa ASEAN terlalu memaksakan batas waktu penyelesaian konflik dan terlalu mengikuti tekanan komunitas internasional. Dalam pernyataan resminya, Kementerian Luar Negeri Myanmar menyebut bahwa langkah tersebut justru berpotensi memperburuk situasi dan menyulut ketegangan baru di kawasan. Hal itu disampaikan ketika ASEAN menetapkan waktu tertentu untuk implementasi lima poin konsensus yang disepakati pasca kudeta.
Di sisi lain, ASEAN juga berada dalam tekanan moral dari komunitas internasional dan kelompok hak asasi manusia. Dunia menilai ASEAN terlalu lunak menghadapi junta, bahkan terkesan membiarkan kekerasan terus terjadi di Myanmar. Sejumlah negara anggota pun terpecah pandangan, dengan Indonesia, Malaysia, dan Filipina mendorong langkah tegas, sementara Thailand, Laos, dan Kamboja cenderung lebih lunak.
Situasi kian rumit dengan adanya laporan dugaan keterlibatan beberapa BUMN Indonesia dalam perdagangan senjata ke Myanmar. Tiga perusahaan pelat merah yakni PINDAD, PAL, dan Dirgantara Indonesia disebut-sebut memasok alat militer kepada junta. Meski belum terbukti secara resmi, kabar ini menambah tekanan moral bagi ASEAN dan Indonesia yang tengah berperan sebagai motor diplomasi kawasan.
Aktivis HAM Marzuki Darusman bahkan meminta Komnas HAM RI turun tangan menyelidiki dugaan tersebut. Ia menilai transaksi senjata ke junta sama saja memperpanjang penderitaan rakyat sipil Myanmar dan melemahkan posisi ASEAN yang berupaya menyelesaikan konflik secara damai. Permintaan ini membuka diskusi serius tentang etika bisnis senjata di kawasan yang masih rawan konflik.
ASEAN saat ini memang serba salah. Jika terlalu keras, junta bisa semakin menjauh dan situasi di lapangan memburuk. Tapi bila terlalu lunak, ASEAN dianggap tidak berdaya dan gagal menjalankan perannya sebagai blok regional. Dilema ini membuat ASEAN kerap mengambil sikap setengah hati dalam menghadapi krisis Myanmar.
Hingga pertengahan 2025, peta kekuasaan di Myanmar masih sangat terpecah. Menurut laporan lembaga pemantau konflik, junta militer hanya efektif menguasai sekitar 22 persen wilayah negara, terutama di pusat administratif seperti Naypyidaw, Mandalay, dan sebagian Yangon. Sisanya dikuasai kelompok pemberontak etnis dan National Unity Government (NUG) yang bersekutu dengan milisi rakyat.
National Unity Government yang dipimpin oleh pemerintahan sipil pengasingan kini beroperasi dari kawasan perbatasan Myanmar-Thailand serta beberapa pos diaspora di negara tetangga. Kabinetnya kerap mengadakan rapat di wilayah Karen dan Kachin, dengan dukungan beberapa kelompok etnis bersenjata yang mengendalikan wilayah luas di utara dan timur Myanmar.
Diperkirakan, sekitar 35 persen wilayah Myanmar kini dipegang oleh NUG dan sekutu milisi rakyatnya. Sementara itu, kelompok pemberontak etnis seperti Arakan Army, KIA, UWSA, dan Karen National Liberation Army mengontrol lebih dari 43 persen wilayah, membentuk semacam proto-negara dengan sistem pemerintahan lokal, pasukan bersenjata, dan sistem administrasi sendiri.
Nasib komunitas Rohingya yang kerap jadi korban di berbagai rezim pun tak kunjung membaik. Saat situasi aman, mereka ditekan oleh pemerintah sipil, militer, dan etnis mayoritas. Namun di saat darurat, seperti sekarang, seorang Rohingya justru diangkat menjadi menteri di kabinet NUG, sebuah ironi di tengah diskriminasi yang masih terjadi di banyak wilayah.
ASEAN terjebak di tengah medan geopolitik rumit ini. Beberapa negara anggota memiliki kepentingan ekonomi dan keamanan di Myanmar, termasuk hubungan dagang dan investasi di sektor energi dan tambang. Di sisi lain, tekanan dari PBB dan negara Barat membuat ASEAN tak bisa sepenuhnya menutup mata atas pelanggaran HAM yang terjadi.
Sejumlah pengamat politik regional menyebutkan, tanpa langkah tegas, ASEAN berisiko kehilangan legitimasi sebagai organisasi kawasan yang kredibel. Bahkan, keretakan internal ASEAN soal Myanmar bisa memicu polarisasi lebih besar yang mengganggu kerjasama regional di bidang lain.
Dalam beberapa pertemuan terakhir, ASEAN mulai membuka opsi dialog informal yang melibatkan semua pihak di Myanmar, termasuk kelompok pemberontak, NUG, dan perwakilan Rohingya. Namun upaya ini masih menemui jalan buntu karena junta tetap menolak dialog yang tidak mengakui mereka sebagai otoritas sah.
Untuk saat ini, ASEAN memilih strategi bertahan sambil menunggu momentum politik yang memungkinkan negosiasi damai. Beberapa negara, terutama Indonesia, Malaysia, dan Filipina, terus mendorong dialog terbuka dan penghentian kekerasan di lapangan sebagai syarat utama.
Krisis Myanmar menjadi ujian terberat bagi ASEAN dalam dua dekade terakhir. Di tengah dilema diplomasi dan tekanan internasional, organisasi ini dituntut membuktikan kemampuannya menjaga stabilitas kawasan tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip kemanusiaan yang selama ini menjadi bagian dari Piagam ASEAN.
Tidak ada komentar