Dua Standar Barat di Ukraina dan Gaza
Pertanyaan sederhana dari seorang jurnalis mengguncang narasi resmi Uni Eropa minggu ini. Dalam sebuah konferensi pers di Brussel, jurnalis itu bertanya: “Jika Rusia harus membayar rekonstruksi Ukraina, apakah Israel juga harus membayar rekonstruksi Gaza?” Pertanyaan itu disambut hening, sebelum juru bicara utama Uni Eropa menjawab singkat, “Saya tidak berkomentar untuk saat ini.” Jawaban tersebut segera memicu kritik luas tentang standar ganda Barat dalam menilai konflik global.
Reaksi publik di media sosial pun beragam, namun kebanyakan menyoroti bahwa pertanyaan sang wartawan sejatinya mencerminkan kegelisahan banyak pihak. Mengapa tanggung jawab perang di Ukraina dibebankan penuh kepada Rusia, sementara kerusakan yang jauh lebih besar di Gaza justru diharapkan ditanggung oleh negara-negara Arab dan Islam? Situasi ini menegaskan adanya inkonsistensi moral yang semakin sukar disembunyikan.
Sejak awal perang Ukraina, Uni Eropa dan Amerika Serikat bersuara lantang menuntut Moskow bertanggung jawab atas kerusakan infrastruktur dan ekonomi di Kyiv. Mereka bahkan membekukan aset-aset Rusia untuk dikelola sebagai dana pemulihan Ukraina. Namun di Gaza, di mana kehancuran jauh lebih meluas dan jumlah korban sipil lebih besar, suara serupa nyaris tak terdengar.
Israel, yang oleh banyak pengamat dianggap sebagai pihak pelaku genosida terhadap warga Palestina di Gaza, tidak pernah ditekan untuk menanggung beban rekonstruksi wilayah itu. Sebaliknya, negara-negara Arab dan lembaga-lembaga kemanusiaan Islam didorong untuk memikul tanggung jawab finansial dan moral. Padahal, dari sudut pandang hukum perang internasional, pihak yang menyerang harus memulihkan kerusakan yang ditimbulkannya.
Komentar juru bicara Uni Eropa yang menghindari jawaban menjadi simbol diamnya Barat atas tragedi kemanusiaan di Gaza. Ketika dunia menuntut konsistensi dalam prinsip hak asasi manusia, Barat tampak memilih diam jika pelaku pelanggaran adalah sekutu mereka. Fenomena ini membuat kredibilitas moral Eropa dan Amerika semakin tergerus di mata dunia Selatan.
Dalam konteks geopolitik, sikap diam itu bukan tanpa alasan. Israel dianggap sebagai biang kerok di Timur Tengah dan menjadi pilar utama hegemoni keamanan Amerika Serikat di kawasan tersebut. Uni Eropa, meskipun sering berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan, cenderung mengikuti garis kebijakan Washington dalam isu Israel-Palestina. Akibatnya, solidaritas kemanusiaan yang seharusnya universal menjadi selektif.
Sejumlah pengamat internasional menilai bahwa respons berbeda terhadap dua perang itu menggambarkan apa yang disebut sebagai “Western exceptionalism” — keyakinan bahwa negara-negara Barat memiliki hak moral untuk menentukan siapa yang bersalah dan siapa yang harus menanggung akibatnya. Prinsip yang sama tidak berlaku bagi sekutu-sekutu mereka.
Kritik atas standar ganda ini semakin nyaring sejak invasi besar Israel ke Gaza tahun lalu. Lebih dari 30 ribu warga sipil tewas, dan ribuan bangunan hancur, termasuk rumah sakit dan sekolah. Namun, meski bukti-bukti kejahatan perang terus bermunculan, tuntutan pertanggungjawaban finansial terhadap Israel tidak pernah disuarakan secara resmi oleh Uni Eropa.
Sebaliknya, pada konflik Ukraina, Uni Eropa secara terbuka menyusun mekanisme hukum agar aset Rusia digunakan untuk membiayai pemulihan. Proses ini bahkan telah dibahas di level parlemen dan lembaga keuangan internasional. Perbandingan ini memperlihatkan perbedaan perlakuan yang mencolok dan sulit dijustifikasi secara moral.
Pertanyaan jurnalis itu menjadi tamparan keras bagi lembaga-lembaga Barat yang selama ini mengklaim diri sebagai pembela hak asasi manusia. Ia menyingkap bahwa di balik retorika tentang keadilan dan perdamaian, terdapat kalkulasi politik yang dingin dan pragmatis. Nilai kemanusiaan hanya dipakai jika selaras dengan kepentingan geopolitik mereka.
Bagi banyak negara di dunia Islam, situasi ini menegaskan perlunya memperkuat posisi diplomatik secara kolektif. Rekonstruksi Gaza memang penting, tetapi tanggung jawab moral tidak boleh dibiarkan menjadi beban sepihak. Dunia Islam, melalui OIC atau lembaga-lembaga keuangan syariah, dapat menuntut mekanisme internasional yang memaksa pihak penyerang turut bertanggung jawab.
Beberapa analis menyebut, jika dunia membiarkan Israel lepas dari tanggung jawab finansial, maka preseden berbahaya akan terbentuk. Negara-negara kuat bisa menyerang wilayah lain tanpa takut menanggung biaya akibat perang. Ini bukan hanya soal Gaza, tetapi soal prinsip keadilan internasional yang berlaku bagi semua pihak.
Media Barat pun mendapat sorotan. Banyak yang menilai bahwa liputan mereka tentang Gaza sering kali menghindari penggunaan kata “pendudukan” atau “penyerangan”. Padahal, istilah serupa digunakan tanpa ragu ketika membahas invasi Rusia ke Ukraina. Perbedaan diksi ini bukan sekadar soal bahasa, melainkan cerminan dari bias sistemik dalam pemberitaan global.
Pertanyaan yang diajukan wartawan itu menjadi viral karena menyentuh inti persoalan: siapa yang menanggung akibat dari perang yang tidak adil? Jika prinsip tanggung jawab hanya berlaku bagi musuh politik Barat, maka tatanan hukum internasional kehilangan makna universalnya. Dunia akan kembali pada logika kekuatan, bukan keadilan.
Beberapa diplomat Eropa yang tidak ingin disebut namanya mengakui bahwa pertanyaan itu “sulit dijawab tanpa menyinggung sekutu penting.” Ini memperlihatkan bahwa bahkan di jantung birokrasi Uni Eropa sendiri, ada kesadaran tentang kontradiksi antara nilai yang diklaim dan kebijakan yang dijalankan.
Ketika gambar-gambar kehancuran Gaza beredar luas, solidaritas publik di dunia Barat justru mulai retak. Demonstrasi pro-Palestina di London, Paris, dan New York menggambarkan kekecewaan generasi muda terhadap standar ganda pemerintah mereka. Mereka menuntut agar prinsip kemanusiaan tidak dipilih berdasarkan bendera.
Dalam konteks ini, pertanyaan wartawan itu menjadi simbol kebangkitan nurani di tengah hening diplomatik. Ia menunjukkan bahwa bahkan di tengah dominasi narasi resmi, masih ada suara yang berani mempertanyakan kebenaran versi penguasa.
Jika Uni Eropa serius ingin mempertahankan reputasinya sebagai pembela hukum internasional, maka sikap konsisten harus diterapkan tanpa pandang bulu. Menuntut Rusia bertanggung jawab tanpa menuntut Israel melakukan hal serupa hanyalah mempertebal kesan hipokrisi.
Pada akhirnya, sejarah akan menilai bukan siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang paling adil. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak pernyataan tanpa isi, tetapi keberanian untuk menegakkan prinsip secara setara. Dan itulah pesan yang, tanpa disadari, terkandung dalam satu pertanyaan sederhana: mengapa standar keadilan Barat selalu berubah tergantung siapa pelakunya?
Tidak ada komentar