Haruskan Saddam dan Ghaddafi Berakhir Tragis? Belajar dari Husni Mubarak
Banyak pihak yang menyayangkan kisah hiduo pemimpin Libya Moammar Ghaddfi dan pemimpin Iraq Saddam Husein berakhir tragis.
Terlepas dari strategi geopolitik internasional yang melibatkan kekuatan dunia, seharusnya Ghaddafi dan Saddam bisa menghindari tragedi menimpa diri mereka.
Tanpa bermaksud lari dari takdir, Ghaddafi dan Saddam telah terjebak dari perangkap ketidakpercayaan kepada rakyat yang sudah disetir oleh framing media.
Sulit bagi mereka keluar dari jebakan itu, kecuali Husni Mubarak.
Risiko keluar dari jebakan itu sebenarnya bukanlah besar, karena hanya soal ego.
Tapi Saddam dan Ghaddafi bersikukuh meringkuk dalam jebakan itu 'secara sukarela' sehingga tragedi itu terjadi.
Jika seandainya mereka bisa seperti Husni Mubarak atau Sultan Turki Abdul Hamid II yang berdamai dengan hati dan dirinya, belum tentu keduanya tewas.
Artinya, jika seandainya Saddam dan Ghaddafi mengundurkan diri dan berkompromi dengan penggantinya, bukan tak mungkin nasih mereka menjadi lebih baik.
Untuk kasus Saddam memang agak unik. Ancaman agar dirinya lengser dari kuasa dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat George Bush saat itu.
Kesulitan terjadi, kepada siapa dia harus memberikan kekuasaan?
Sebenarnya ada. Walaupun ancaman Bush adalah sebuah penghinaan besar, dan tak mungkin dengan semudah itu mengundurkan diri karena sama saja tunduk ke tekanan luar yang tidak konstitusional, maka jalan keluarnya memberikan mandat kembali ke parlemen Irak saat itu.
Jika hal itupun sangat sulit dilakukan karena siang malam Irak sudah dibombardir AS dan koalisinya, maka pilihan terakhir adalah melaksanakan pemilihan umum sesegera mungkin karena toh AS akan berada dalam kondisi sulit membom rakyat yang antri di kotak suara.
Tapi Saddam tidak melakukan hal itu, dan memilih bergerilya. Padahal kondisi alam Irak bukanlah seperti Vietnam yang memiliki hutan tropis yang luas.
Kebanyakan wilayah Irak adalah padang pasir yang hanya butuh beberapa minggu untuk menguasainya.
Jika Saddam mau keluar dari jebakan kesombongan itu, maka bukan tak mungkin dia akan menjadi king maker sampai akhir hayatnya.
Memang ada kemungkinan dia akan dibawa ke ICC atau kemungkinan lainnya sebagaimana beberapa pemimpin Afrika. Tapi kemungkinan ke sana itu sangat kecil mengingat dia akan tetap mempunyai kuasa di negaranya.
Kasus Ghaddafi juga demikian. Saat dia ingin melarikan diri, tentu dia sudah melakukan perhitungan cermat.
Yang harus dia lakukan adalah mengembalikan mandat ke parlemen Libya atau melakukan pemilu.
Saat itu, berbeda dengan Irak yang oposisi tidak kuat karena berasal dari Kurdi, namun di Libya oposisi cukup kuat khususnya dari Misrata.
Ghaddafi tidak seharusnya melarikan diri jikapun pemilu sulit dilakukan.
Dia bisa memanggil kepala-kepala suku yang berpengaruh di Libya untuk menggantikan dirinya sebagai pemimpin seperti pemimpin oposisi saat itu Mustafa Abdul Jalil.
Dia bisa melakukan negosiasi dengan Abdul Jalil untuk menyelenggarakan pemilu.
Dan masih banyak pilihan politik lainnya selain melarikan diri.
Termasuk reshuffle kabinet dan memasukkan tokoh-tokoh oposisi saat itu.
Tidak ada komentar