Header Ads

  • Breaking News

    Riwayat Panglima Laut Sidi Mara Lawan Belanda

    Sidi Mara adalah panglima laut terkenal dari Kesultanan Pagaruyung Darul Qarar. Pagaruyung berubah dari sebuah kerajaan menjadi kesultanan di abad ke-19.

    Saat itu, Belanda telah mulai masuk ke Sumatera Barat yang dilawan oleh penduduk setempat meski akhirnya mengalami kekalahan pada 1837.

    Perlawanan rakyat Minangkabau berhasil mengacaukan pihak penjajah Belanda dengan menghancurkan gudang logistik dan fasilitas militer lainnya. 

    Salah satu Panglima Laut yang disegani adalah Sidi Mara dengan 20 orang anak buah. Namanya sering disebut dalam catatan militer Belanda pada abad 19.

    “Nama Sidi Mara sering disebut dalam beberapa tulisan para petinggi militer Belanda yang pernah bertugas di Minangkabau,” sebut filolog Suryadi beberapa waktu lalu.

    Cap stempel Kesultanan Pagaruyung Darul Qarar.


    Guru Besar Sejarah Universitas Andalas Gusti Asnan mengatakan, Sidi Mara salah seorang Panglima Laut yang terkenal di pantai barat Sumatra, selain Panglima Mentawe, Nja’ Pakir dan Po Id.

    Kehidupan keseharian Sidi Mara merupakan seorang pedagang dan pengusaha ekspor dan impor perantara.

    Ketika Belanda masuk pada era yang dikenal juga nama zaman Perang Paderi, dia menjadi pedagang penghubung antara pengusaha Aceh dan Minangkabau. 

    Di antara komoditas dan produk yang diperdagangkannya adalah peralatan senjata, pakaian, garam, ikan, dan lain-lain. 

    “Dia memiliki gudang yang cukup besar di Katiagan, Pasaman,” ujar Suryadi.

    Warga Minangkabau yang dipimpin oleh  Tuanku Imam Bonjol mulai terdesak ketika pasukan Belanda terus merangsek. Letnan Satu Infantri J.C Boelhouwer, dalam memoar “Kenang-kenangan di Sumatra Barat Selama Bertahun-tahun 1831-1834” mencatat, penjajah Belanda merangsek ke pusat pertahanan warga Minang di Bonjol. Gudang dagang yang banyak berdiri di Katiagan, tidak jauh dari Bonjol dibakar oleh serdadu Belanda.

    Salah satu gudang yang ikut terbakar adalah milik Panglima Sidi Mara. Sejak itu, dia begitu marah pada Belanda. Bersama pasukannya dia melakukan serangan balasan ke pihak Belanda.

    Kesultanan Pagaruyung Darul Qarar tidak saja harus melawan intrusi penjajah Belanda tapi juga para bajak laut dari Perancis yang dikenal dengan nama pimpinannya Le Meme.

    Gusti Asnan mengatakan aktivitas bajak laut di pantai barat Sumatra di abad 19 karena motif ekonomi dengan melakukan perompakan terhadap kapal-kapal niaga yang sedang berlayar, perkampungan penduduk, dan juga karena motif politik.

    Korban bajak laut banyak dialami pedagang (pecalang) Tionghoa ketimbang Eropa. Sebab, pecalang Eropa sudah memiliki persenjataan membuat bajak laut berpikir untuk menyerang. Selain itu juga perompakan terhadap kampung, bahkan menculik penduduk untuk komoditas budak.

    Saat itu warga yang tak berdaya menjadi korban karena sebagain memihak penjajah Belanda di lain pihak banyak juga yang memihak pada para pejuang.

    Namun, kekuatan penjajah Belanda yang lebih moderen akhirnya membuat perlawan rakyat tak berdaya.

    “Tidak ada catatan biodata yang jelas tentang Sidi Mara. Misal tanggal, tahun lahir, kampung, dan keturunan siapa,” ujar Gusti Asnan.

    Namun, menurut Suryadi yang akrab dipanggil Ajo, Sidi Mara berasal dari Pariaman. Ia merupakan salah satu gelar adat di Pariaman. Sidi berasal dari kata Sayyidi (sama dengan Tuanku). Gelar ini diberikan kepada mereka yang bernasab kepada kaum ulama (syayyid), yaitu penyebar agama Islam di daerah Pariaman.

    Sidi, sama halnya dengan gelar lain seperti Sutan dan Bagindo, merupakan gelar yang disematkan pada laki-laki yang baru saja kawin di Pariaman. Gelar demikian diturunkan terus-menerus yang dipetik dari garis ayah (patrilineal).

    “Sidi Mara ini orang Pariaman. Kalau tidak salah dia seorang pedagang,” imbuh Suryadi.

    Menurut sumber lain, Sidi Mara adalah anak kepala kampung atau nagari Katiagan (ditulis juga sebagai Katiagan Mandiangin) yang merupakan salah satu nagari yang ada di Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman barat, Provinsi Sumatra Barat. Indonesia.

    Setelah menguasai Sumatera Barat, Belanda melancarkan aksinya untuk menguasai Sumatera Utara. Termasuk membakar dan membumihanguskan Barus yang saat itu berada dalam kuasa Kesultanan Barus bermarga Pohan di Hulu dan keturunan Tuan Ibrahimsyah di Hilir.

    Pasukan Sidi Mara dan Sisingamangaraja XI berhasil mengalahkan Belanda dan menewaskan komandannya Letnan J.J. Roef pada 28 Maret 1840. Makamnya kini berada di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.


    Meski begitu Belanda dengan cara licik akhirnya berhasil menguasai Barus.

    Tidak diketahui di mana makam Sidi Mara, namun sebuah desa bernama Kinali masih ada sekarang di Barus. Nama Kinali juga menjadi kecamatan di Sumatera Barat tempat lahirnya Sidi Mara. 

    Di Barus, banyak terdapat orang Pariaman dan Minang. Juga terdapat sebuah kampung bernama Solok, sebuah nama yang berasal dari Kabupaten Solok, Sumatera Barat.

    Sisingamangaraja XI sendiri merupakan raja yang turun temurun memerintah di Bakkara, sekarang berada di Humbang Hasundutan.

    Sisingamangaraja I merupakan putra Tuan Ibrahimsyah Raja Barus Hilir yang berasal dari Tarusan, Kerajaan Indrapura yang kini berada di Sumatera Barat.

    Perlawanan kepada Belanda terus dilakukan putranya Sisingamangaraja XII berkoalisi dengan Aceh khususnya dalam komando 16 kerajaan di Singkil di bawah Kesultanan Aceh yang lebih besar. Enam belas kerajaan ini dikenal dengan nama Si-16 atau Sinambelas, termasuk Kerajaan Batu-batu yang dipimpin oleh Sultan Daulat Sambo.

    Sisingamamgaraja XII akhirnya gugur di Parlilitan pada tahun 1907 bersama sejumlah panglimanya. Sebagian makam panglimanya sekitar 37 jenazah berada di Kecamatan Tarabintang, Humbang Hasundutan.

    Mereka dimakamkan warga setelah dibantai oleh Belanda dan pasukan Marsosenya.

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad